Sore itu, yanto berjalan naik sepeda kumbangnya menyusuri pinggir desa. Jalan kampung yang lumayan ramai mengakibatkan debu debu tanah kering berterbangan. Yanto terus mengayuh sepedanya. Ditatapnya gunung yang menjulang tinggi di arah utara desa. Gunung itu nampak sangat perkasa, megah dan terlihat keagungan sang maha Besar yang telah membangun gunung itu dengan mudahnya. Udara sore yang kering dan dingin membuat yanto sedikit merinding. Seperti sedang napak tilas kelihatanya. 18 tahun yang laku, tiap pagi dan siang dia melewati jalan ini. Tentu tidak berbeda dengan k0ndisi sekarang. Sepeda kumbang butut itulah yang mengantarkanya pergi dan pulang sekolah sewaktu masih duduk di bangku smp. Dulu yanto masih belasan tahun. Yanto kecil yang lugu. Yang terkadang masih tergoda dengan cinta monyet. Sekarang yanto yang masih tetap lugu dengan hati yang teriris. Di taruhnya sepeda di jembatan pinggiran desa. Dia duduk dan memegang hapenya. Yah cuma memainkan aplikasi musik dan mendengarkanya. Dilihatnya teman SD yang baru saja pulang dari sawah. Mereka saling menghampiri. Berbincang sejenak dan temanyapun berpamitan pulang. Berikutnya teman yanto sekampung dilihatnya membawa segulung rumput untuk pakan sapinya. Disapanya yanto, sebentar tanya kabar masing-masing dan diapun pulang.
Kasihan.... Mereka yang hidup serba sederhana dan apa adanya. Berbeda dengan yanto yang sekarang sudah menjadi menejer sebuah perusahaan ternama di jakarta. Kepulanganya ke kampung kali ini hanya karena ingin menghilangkan kangennya dengan kampung halaman. Sengaja dia gunakan sepeda kumbang temen jalan waktu masih smp. M0bil avansa yg dia miliki sengaja ditinggal di rumahnya di jakarta. Sore itu banyak anak anak usia smp dan sma dari kampungnya yang terlihat bingung melihat yanto. Karena memang mereka tidak saling mengenal. Beda generasi, itu mungkin kata yang tepat untuk menggambarkannya.
Yanto merasa sedih bercampur bangga. Dia sedih kenapa anak anak sekampung tidak lagi mengenalnya. Bukankah ini adalah tempat kelahiranya? Kampung halaman yang sangat di cintainya?. Dia teringat temen sekampung yang jugat temen waktu sma. Dia telah tiada karena serangan ginjal 3 tahun yang lalu. Temen kost yang waktu itu sering diem2an dan marah2 an ama yanto. Dalam hati yanto kangen.
Sedikit terbesit rasa bangga, untuk ukuran di kampungya yanto adalah anak berprestasi kala itu. Jumlah sarjana muda yang berasal dari kampunya dapat dihitung. Yanto termasuk salah satunya. Walau untuk mendapatkan gelar tersebut yanto harus berjibaku sendiri tanpa uluran tangan orang tua. Yanto juga mampu mengangkat drajat orang tua dari kebangkrutan ekon0mi. Lantaran 18 tahun yang lalu ayahnya pernah terjerembab ke lubang kebangkrutan. Yah ayah yanto kalah dalam percaturan pilkades. Masih jelas ingatan di kepala. Kebon dan sawah ludes habis dijual guna keperluan nyalon Kepala desa. Yanto juga bangga walau setahun yang lalu ibunya struk dan biaya berobat yang sangat tinggi sempat mampu dia tanggung. Bahkan sebidang tanah di sebrang rumahnya masih mampu ia bayar. Yanto kembali dengan kesedihanya ketika di ujung jalan ini dia pernah bersepeda berdua dengan wanita yang ia cintai. Yang kini telah menjadi milik orang lain. Dan mungkin dia telah melupakan yanto untuk selama-lamanya. Dia juga masih bersedih dengan kegagalan cintanya di tanah rantau. Beberapa wanita yang singgah di hatinya sudah dicoba di perjuangkan. Namun belum ada satupun dari mereka yang mau setia dengan yanto. Yah, yanto hanyalah sekedar Anak kampung yang mau bekerja keras. Lelah yanto menerawang ke kisah cintanya yang masih terbilang pahit. Padahal temen seusianya di kampung sudah mampu berkeluarga dan membangun biduk rumah tangga. Sambil memutar sepedanya yanto berniat pulang. Waktu sudah menjelang magrib. Sambil mengayuh pelan pelan sepedanya itu, yanto masih berbangga hati. Karena memang dia pantas bangga. Temen seusianyapun masih banyak yang hanya mejadi kuli panggul. Sementara anaknya tiap hari meminta uang untuk jajan di sekolah. Mungkinkah nantinya yanto akan mampu menbina rumah tangga di kampung kelahiranya? Dengan siapa? Kapan bertemu? Gemerisik angin yang menerpa pohon padi masih belum memberi jawaban. Sepedanya terus di kayuhnya sampai menghilang di persimpangan desa di iringi adzan magrib yang berkumandang.
By mr. M0eng
No comments:
Post a Comment