Saturday, December 5, 2009

Orang Jawa yang Tidak Pandai Berdebat

Sewaktu kecil saya pernah ingat menanyakan sesuatu ke nenek saya. “nek kenapa nenek makan sirih ??“. Saya yang waktu itu baru berusia 5-tahunan bingung mengamati nenek saya yang makan daun sirih atau dalam istilah jawa “nginang”. Dia mengunyah dengan lahapnya untuk kemudian keluar liur berwarna merah dan di buangnya. Entah kenikmatan semacam apa yang nenek rasakan. Hampir setiap hari beliau makan daun sirih. Walau tidak ditelan sama daun-daunya tentu tetap saja beresiko masuk lambung dan saya kecil waktu itu sudah berfikir manfaat apa yang diperoleh dari daun sirih.
Nenekpun hanya mampu menjawab pertanyaanku “ya kalo nenek ya nginang, kalo kakek merokok” nenek tidak menjawab manfaat apa yang diambil dari nginang melainkan beliau hanya mambandingkan kalo nenek punya tradisi “nginang” kakekpun punya tradisi “merokok”. Sebenarnya saya kecil waktu itu tidak puas dengan jawaban nenek tetapi saya kecilpun belum mampu menyusun strategi jitu agar mendapatkan jawaban yang memuaskan saya.
Ketika saya kecil suka bermain dan berdiri di depan pintu, nenek sayapun sering melarang. Tetapi ketika kutanya mengapa tidak boleh berdiri di depan pintu? nenek hanya menjawab “ora ilok “. Saya pernah sedikit gusar dengan jawaban ora ilok dengan menanyakan “ora ilok itu apa sih nek?? “ Ternyata nenekpun hanya mampu menjawab “ora ilok ya ora ilok “ sekali lagi jawaban yang sangat tidak memuaskan dan saya kecil waktu itu juga tidak mampu menyusun strategi bagai mana supaya mendapatkan jawaban yang memuaskan.
Budaya jawa lengkap dengan adat dan istiadatnya yang adiluhung menurut saya juga masih ada tradisi yang membuat orang jawa terkekang dan tidak berkembang. Bagaimana tidak?? Orang jawa dalam mendidik anak cucunya sering tidak mempu memberikan dasar pemikiran yang rasional, alasan yang masuk akal yang mampu memuaskan si penanya. Dan suatu ketika si anak ini dalam kondisi yang sangat ingin tahu hanya dimentahkan dengan kalimat yang tujuanya untuk menutup perdebatan. Seperti kata neneku “ora ilok ya ora ilok “. Itu sama sekali jawaban yang tidak mampu menjawab. Hanya sebuah jawaban muter yang berguna untuk menutup pertanyaan seorang anak kecil yang tidak mampu berdebat.

Selanjutnya dalam kaitannya dengan berdiskusi dan berdebat. Terlihat jelas orang jawa sangat kurang dalam hal ini. Jawa adalah penurut, rajin, ulet, selalu menjaga irama sosial, dan tidak terlalu suka bersikap kontra.
Apakah ini perlu dilakukan koreksi ?? jawabanya dalah YA!!!. Selama kita selalu tidak terpuaskan dengan jawaban, kita masih akan menggantungkan sebuah pertanyaan. Selama itu pula kita masih merasa ada sesuatu yang mengganjal. Bayangkan jika kita akan menjawab pertanyaan anak kita nanti?? Apakah kita juga akan selalu seperti si NENEK saya tadi?.
Karena kita yang terbiasa “tidak kontra” tentunya akan sangat berpengaruh juga apabila opini kita yang di kontra orang. Seringkali opini kita yang sudah didukung dengan data-data teknis masih kalah dengan opini orang lain yang mempunya skill berdebat walau dengan data yang seadanya sifatnya asumsi. Dan ini masuk akal karena kita memang orang-orang yang tidak suka dengan perbuatan kontra. Kita lebih suka menjadi penurut. Sangat disayangkan bukan??
Ditambah lagi kultur jawa yang sangat ingin menjaga irama sosial, menghindari konflik danh rasa ewuh-prekewuh yang sangat tinggi sehingga ini adalah hambatan utama dalam berdebat.
Lalu bagaimana cara menyiasatinya?? Nah PR besar bagi orang jawa untuk menjawab pertanyaan ini. Tentunya kita juga ingin jawa juga bisa professional, jawa yang tidak kalah berdebat, jawa yang pandai berdiplomasi dan jawa yang handal. Bukan maksud saya rasisme tapi untuk yang sesama jawa mari kita benahi budaya kita. Bedakan antara sosial dan dunia professional. Terkadang kultur jawa yang kita anut juga tidak dapat di aplikasikan sepenuhnya di mata budaya lain.

No comments:

Post a Comment